JANGAN TAKUT GAGAL (karena sukses ada setelah kegagalan)

Jumat, 26 Oktober 2012

On Indonesian Teenage Delinquency




Indonesia sudah sering menorehkan sejarah prestasi di kompetisi-kompetisi akademik dan non akademik di kaca dunia. Beberapa teman saya bahkan diterima di universitas ternama karena kepintaran dan bakat bakat yang mereka punya. Tapi, sebaliknya, ada saja ulah kenakalan temen temen saya yang kurang patut untuk dicontoh ya mungkin salah pergaulan,


Sepertinya, untuk beberapa siswa Indonesia, gengsi sering dianggap lebih penting daripada prestasi. Mereka akan memilih masuk ke sekolah bergengsi daripada sekolah berprestasi. Dan setelah mereka menjadi siswa di sekolah tersebut, mereka akan merasa bertanggung jawab untuk menjaga gengsi yang ditinggalkan senior mereka tersebut, sering dengan cara apapun yang mereka anggap perlu. Contohnya, tawuran pelajar bukanlah hal yang aneh di Jakata.



Secara pribadi, saya pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dimana ketika ada sekolah yang meremehkan sekolah saya, saya tak mau tinggal diam. Saya dan teman-teman saya sering terlibat dalam perkelahian antar sekolah. Pada waktu itu, kami mengoleksi jaket almamater milik sekolah-sekolah yang telah kami kalahkan. Di tongkrongan kami, kami pajang lusinan jaket almamater dari sekolah yang berbeda dan kami bangga terhadap diri kami yang telah mengoleksi begitu banyak jaket tanpa pernah kehilangan satupun. Ya, kami tidak pernah kalah.


Tapi, selain luka dan lecet, kami tidak mendapatkan apa-apa. Kami ingin menunjukkan supermasi, tetapi kami hanya menyebarkan kebencian dan dendam. Pada akhirnya, akan terjadi perkelahian berikutnya yang akan memicu perkelahian-perkelahian lainnya. Seperti sebuah siklus tanpa akhir; kedua sekolah tidak pernah mau kalah. Dan hal ini akan menjadi lebih rumit jika kami memiliki banyak musuh. 


Pada satu saat, saya harus keluar dari kelompok tersebut dan fokus terhadap ujian nasional.
Remaja di Jakarta sangat acuh dan kasar, tidak disiplin dan sangat nakal. Kebanyakan siswa yang nakal berasal dari kota-kota besar. contohnya beberapa minggu lalu kita telah kehilangan seorang siswa tidak bersalah yang tewas dalam tawuran antar sekolah di Jakarta. 





Menurut saya setiap sekolah maupun jenjang perkuliahan perlu adanya disiplin militer .Bahwasanya  kenakalan itu hanya membawa kesenangan sesaat. Hukuman berat, terutama dari para senior yang sering lebih sadis,menurut saya telah membuat siswa junior menghargai kedisiplinan. Perlu adanya penekanan pada aspek kewarganegaraan dan patriotisme agar siswa menghormati moral-moral Pancasila. Pihak sekolah juga harus banyak memberikan aktivitas positif yang memenuhi hari-hari para siswa untuk mengalihkan perhatian siswa dari hal-hal yang negatif seperti ESQ atau The Golden Ways. Karena saya tidak percaya dengan pendidikan di sekolah dapat mengubah orang hanya butuh waktu kurang dari 3 hari.


Ada berita yang mengatakan bahwa menteri pendidikan sedang mencoba untuk menghapuskan IPA dan IPS dari kurikulum Sekolah Menengah Atas dan lebih menekankan pada pendidikan kewarganegaraan dan keagamaan. Pada dasarnya, saya sangat setuju dengan hal ini. Tapi, saya merasa bahwa para pemimpin Indonesia masa depan tidak hanya membutuhkan hal ini. Malah sebaiknya, pendidikan Indonesia harus mengajarkan tentang kepribadian dan perilaku. Penekanan afektif selalu lebih efektif daripada kognitif dalam membentuk kepribadian mereka. Diikuti dengan perkembangan psikomotorik untuk membuat mereka aktif dan produktif.
Dibutuhkan peningkatan fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih ekstensif. Kembangkan suasana belajar yang menyenangkan dan ajarkan mereka sejak usia dini untuk menghargai nilai-nilai moral dan etika. Aktivitas tradisional, seperti tari saman dan angklung, juga dapat membentuk pandangan mereka terhadap bangsa sendiri. Dan di era globalisasi ini, pendidikan seksual bukanlah lagi hal yang tabu bahkan dibutuhkan untuk membentengi mereka dari perilaku menyimpang. 
Dan ingat, keluarga selalu menjadi hal yang paling penting dan utama dalam masalah ini. Sebuah kutipan dari film Kita vs Korupsi, "kamu adalah cerminan rumah kamu". Pada dasarnya, apapun yang kita lakukan berasal dari apa yang kita lakukan di rumah. Adalah tanggung jawab orang tua untuk membimbing dan mengasuh anak-anak mereka. Anak adalah infestasi! 
Bukan masalah pelajaran dan kurikulum. Tetapi masalah bagaimana membimbing dan membentuk kepribadian mereka dan mengajarkan mereka hal-hal positif. Jika kita melakukannya dengan benar, pemimpin muda Indonesia akan memiliki kualitas lebih baik daripada pendahulu mereka!