Indonesia sudah sering menorehkan
sejarah prestasi di kompetisi-kompetisi akademik dan non akademik di kaca dunia. Beberapa teman saya bahkan diterima di universitas
ternama karena kepintaran dan bakat bakat yang mereka punya. Tapi,
sebaliknya, ada saja ulah kenakalan temen temen saya yang kurang patut untuk dicontoh ya mungkin salah pergaulan,
Sepertinya, untuk beberapa siswa
Indonesia, gengsi sering dianggap lebih penting daripada prestasi.
Mereka akan memilih masuk ke sekolah bergengsi daripada sekolah berprestasi.
Dan setelah mereka menjadi siswa di sekolah tersebut, mereka akan merasa
bertanggung jawab untuk menjaga gengsi yang ditinggalkan senior mereka
tersebut, sering dengan cara apapun yang mereka anggap perlu. Contohnya, tawuran
pelajar bukanlah hal yang aneh di Jakata.
Secara pribadi, saya pernah
mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dimana ketika ada sekolah yang meremehkan
sekolah saya, saya tak mau tinggal diam. Saya dan teman-teman saya sering
terlibat dalam perkelahian antar sekolah. Pada waktu itu, kami
mengoleksi jaket almamater milik sekolah-sekolah yang telah kami kalahkan. Di
tongkrongan kami, kami pajang lusinan jaket almamater dari sekolah yang
berbeda dan kami bangga terhadap diri kami yang telah mengoleksi begitu banyak
jaket tanpa pernah kehilangan satupun. Ya, kami tidak pernah kalah.
Tapi, selain luka dan lecet, kami
tidak mendapatkan apa-apa. Kami ingin menunjukkan supermasi, tetapi kami
hanya menyebarkan kebencian dan dendam. Pada akhirnya, akan
terjadi perkelahian berikutnya yang akan memicu perkelahian-perkelahian
lainnya. Seperti sebuah siklus tanpa akhir; kedua sekolah tidak pernah mau
kalah. Dan hal ini akan menjadi lebih rumit jika kami memiliki banyak
musuh.
Pada satu saat, saya harus keluar
dari kelompok tersebut dan fokus terhadap ujian nasional.
Remaja di Jakarta sangat acuh dan kasar, tidak
disiplin dan sangat nakal. Kebanyakan siswa yang nakal berasal dari kota-kota
besar. contohnya beberapa minggu lalu kita telah kehilangan seorang siswa tidak bersalah yang tewas dalam tawuran antar sekolah di Jakarta.
Menurut saya setiap sekolah maupun jenjang perkuliahan perlu adanya disiplin
militer .Bahwasanya kenakalan itu hanya membawa
kesenangan sesaat. Hukuman berat, terutama dari para senior yang sering
lebih sadis,menurut saya telah membuat siswa junior menghargai
kedisiplinan. Perlu adanya penekanan pada aspek kewarganegaraan dan patriotisme agar siswa menghormati moral-moral Pancasila. Pihak sekolah juga harus banyak memberikan aktivitas positif
yang memenuhi hari-hari para siswa untuk mengalihkan perhatian siswa dari hal-hal yang
negatif seperti ESQ
atau The Golden Ways. Karena saya tidak percaya dengan pendidikan di sekolah dapat mengubah orang hanya butuh waktu kurang dari 3 hari.
Ada berita yang mengatakan bahwa menteri pendidikan sedang
mencoba untuk menghapuskan IPA dan IPS dari kurikulum Sekolah Menengah Atas dan
lebih menekankan pada pendidikan kewarganegaraan dan keagamaan. Pada
dasarnya, saya sangat setuju dengan hal ini. Tapi, saya merasa bahwa
para pemimpin Indonesia masa depan tidak hanya membutuhkan hal ini.
Malah sebaiknya, pendidikan Indonesia harus mengajarkan tentang kepribadian dan perilaku. Penekanan afektif selalu lebih efektif daripada kognitif dalam membentuk kepribadian mereka. Diikuti dengan perkembangan psikomotorik untuk membuat mereka aktif dan produktif.
Dibutuhkan peningkatan fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih
ekstensif. Kembangkan suasana belajar yang menyenangkan dan ajarkan
mereka sejak usia dini untuk menghargai nilai-nilai moral dan etika.
Aktivitas tradisional, seperti tari saman dan angklung, juga dapat
membentuk pandangan mereka terhadap bangsa sendiri. Dan di era
globalisasi ini, pendidikan seksual bukanlah lagi hal yang tabu bahkan
dibutuhkan untuk membentengi mereka dari perilaku menyimpang.
Dan ingat, keluarga selalu menjadi hal yang paling penting dan utama dalam masalah ini. Sebuah kutipan dari film Kita vs Korupsi, "kamu
adalah cerminan rumah kamu". Pada dasarnya, apapun yang kita lakukan
berasal dari apa yang kita lakukan di rumah. Adalah tanggung jawab orang
tua untuk membimbing dan mengasuh anak-anak mereka. Anak adalah
infestasi!
Bukan masalah pelajaran dan kurikulum. Tetapi masalah bagaimana
membimbing dan membentuk kepribadian mereka dan mengajarkan mereka
hal-hal positif. Jika kita melakukannya dengan benar, pemimpin muda
Indonesia akan memiliki kualitas lebih baik daripada pendahulu mereka!